Badan Pengembangan Bisnis Rintisan dan Inkubasi (BPBRIN) gelar workshop urgensi sertifikasi produk halal pada Kamis (21/3/2024). Hadir sebagai narasumber Ketua Harian Halal Institute, S.Si M.IP. juga sebagai Direktur Utama PT Lembaga Sertifikasi Porfesi Halal Indonesia.
Pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal pada 17 Oktober 2024 mendatang, menjadi landasan workshop ini terselenggara. Kegiatan itu bertujuan mengedukasi pelaku bisnis rintisan sesuai amanat UU No 2 tahun 2022. UU tersebut mewajibkan produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia untuk bersertifikat halal.
SJ Arifin menerangkan, sertifikat halal merupakan pengakuan halal suatu produk berdasarkan fatwa halal tertulis dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bentuk realisasi UU No 2 tahun 2022 tersebut, Indonesia membangun Jaminan Produk halal (JPH).
“Kata wajib di UU no 2 tahun 2022 ini, membuktikan pemerintah berani untuk membangun sistem jaminan produk halal” ujar Arifin.
Arifin menjelaskan sertifikasi halal dapat memberikan kepastian ketersediaan produk halal bagi konsumen, meningkatkan kepercayaan konsumen dan memenuhi mandatory halal dari pemerintah. Bagi konsumen di indonesia sendiri umumnya akan melihat logo halal suatu produk sebelum membeli.
“Dengan adanya sertifikasi halal negara itu menjamin produk itu halal,” ungkapnya.
Arifin melanjutkan bukan hanya negara-negara islam yang mengejar sertifikasi halal melainkan juga negara islam minoritas pun mengejar sertifikasi halal. Salah satunya Kanada, negara itu mendatangkan penguji dari Indonesia untuk sertifikasi produk halal mereka. Hal ini dikarenakan kesadaran akan tingginya pasar konsumen muslim di Indonesia.
“Dampak mandatory ini luar biasa, bukan hanya ke dalam namun juga keluar,” Lanjutnya.
Rencana kedepan, Badan Produk Jaminan Halal akan melakukan sertifikasi halal secara bertahap. Tahap pertama akan dilakukan tahun 2024 khusus produk makanan dan minuman serta jasa dan hasil penyembelihan. Tahap kedua akan berlangsung pada tahun 2026 yang berfokus pada obat-obatan, kosmetik, produk kimia bahkan produk seperti perhiasan, perbekalan rumah dan alat kesehatan. Kemudian, tahap ketiga pada tahun 2029 hingga 2034 akan berfokus pada obat bebas, keras dan alat kesehatan kategori C dan B.
Kebijakan itu diambil karena pemerintah sadar jika dilakukan serentak dalam satu tahap, hal ini tidak akan terealisasi dengan baik. “Pemerintah sadar, mandatory ini tidak dapat dilakukan serentak,” imbuhnya.